Suara Keheningan | Yancen Wullo
Mengenang kisah di masa silam, membangun hidup di masa kini dan menaruh harapan di masa depan adalah bagian dari sejarahku. Karena kisah tak pernah mati oleh waktu, ia terus hidup dalam pikiran dan kenangan. Demikian juga sejarah tak pernah mati untuk orang lain dan terus hidup pada generasi baru.
Kenangan yang paling indah dari sejarah adalah janji. Filippo Pananti, penyair klasik Italia menulis dalam bukunya, “gugur janji di musim semi” menulis demikian; Apalagi yang abadi selain sakit hati karena janji yang diingkari. Apalagi yang abadi selain luka karena terlalu mempercayai janji. Maka saya kira benar, Jangan pernah membuat janji jika ada niat untuk mengingkarinya.
Tahun 2015 tepatnya tanggal 20 Juli, pada perayaan Hari Raya Santo Nabi Elia, bersama 11 temanku, kami mengucapkan kaul perdana dalam Ordo Karmel. Secara sadar kami mengucapkan kaul sementara untuk hidup miskin, murni, dan taat untuk satu tahun. Bahagia rasanya mengucapkan janji. Entah apapun nanti perjalanan dan akhir dari sebuah janji, kami terus menjalaninya.
Inilah pilihan kami dari sekian banyak tawaran pilihan lainnya. Jika direnungkan, terlalu berani untuk memutuskan. Tawaran dunia jauh lebih menggiurkan. Di saat orang berlomba-lomba mengumpulkan harta dan kekayaan, kami berani memilih hidup miskin dan tidak memiliki apapun. Hanya Allah saja cukup, demikian kata Theresia Lisieux.
Di saat dunia menawarkan kebebasan, kami memutuskan untuk hidup taat kepadaNya secara radikal. Tinggal dalam keheningan. Jauh dari keramaian, di lingkungan yang terbatas. Demikian juga memilih untuk hidup murni, tidak menikah seumur hidup, sementara dunia menawarkan sejuta kenikmatan. Pilihan yang menuntut pertanggungjawaban namun itu bukan beban. Jika sudah memilih dan memutuskan maka dijalani dengan penuh sukacita.
Dalam perjalanan waktu, satu persatu memilih untuk meninggalkan kaul-kaul kebiaraan itu. Sebagian memilih untuk hidup berkeluarga, sebagian bertahan dalam kesetiaan pada kaul kebiaraannya. Keputusan tetap dihargai, walau tak semua orang komitmen setia pada keputusan itu. Hingga di tahun ke enam belas ini, lima orang yang masih bertahan pada janji setia yang telah diikrarkan. Janji yang dulu diucapkan untuk sementara waktu kini sudah menjadi janji kekal seumur hidup.
Jika ditanya apa yang paling sulit dari sebuah janji? Janji mudah diucapkan, namun sulit untuk bertahan padanya. Mengucapkan janji bisa dikatakan perkara yang mudah. Untuk bisa menjadi orang yang setia menepati janji, terkadang terasa sulit. Tak sedikit orang yang mengucapkan janji daripada menepatinya.
Ungkapan janji selalu datang dari sebuah keyakinan bahwa jika diingkari pasti mendatangkan luka. Penderitaan karena luka adalah bagian dari menciptakan luka bagi orang lain.
Janji menuntut kesetiaan untuk menjalani dan menghayatinya. Demikian arti sebuah janji. Tak ada janji yang diucapkan supaya diingkari. Janji tak ingin dilukai dalam sejarahku. Ia tetap menjadi senjata untuk berperang melawan keinginanku, kedagingan dan kelemahan manusiawiku yang kadang melampau arti sebuah janji. Ia menjinakkan pikiranku yang terkadang liar. Ia mengontrol perasaan dan tingkahku untuk tidak tergiur pada tawaran dunia yang menjanjikkan.
Keinginan selalu keluar dari badan. Kadang terlalu tinggi bahkan melampaui janji dan komitmen. Menjinakkan keinginan, menjadikanku untuk kembali kepada janji dan setia kepadaNya. Aku yang berjanji, demikian akulah yang menjalani dan menghayatinya.Terlalu dini untuk mengatakan, setia hinggga di tahun ke enam belas. Ku berharap setiaku adalah doamu. Semakin mencintaiku, setialah mendoakanku karena doamu adalah ungkapan cinta yang termulia. Aku ingin setia seribu tahun lagi.